Nama Halim Perdanakusuma kini diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI AU di Jakarta. Ia adalah salah seorang perintis TNI AU di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Meski berasal dari Indonesia, Halim Perdanakusuma juga terlibat langsung dalam Perang Dunia Kedua di front Eropa.
Abdul Halim Perdanakusuma, adalah pemuda kelahiran Madura anak dari Haji Abdul Gani Wongsotaruno dan Raden Ayu Aisyah. Ia menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar di Sampang, lalu melanjutkan tahap berikutnya di Surabaya dan Magelang. Latar belakang pendidikannya di sekolah bentukan Belanda itulah yang kemudian membuatnya mahir berbahasa Belanda.
Setelah sempat bekerja di departemen dalam negeri kolonial usai lulus dari sekolah menengah, Halim Perdanakusuma kemudian disekolahkan lagi ke Sekolah Angkatan Laut di Surabaya. Usai lulus, ia ditempatkan di bagian torpedo.
Ketika Indonesia dikuasai Jepang pada tahun 1942, Halim Perdanakusuma sedang berada di Cilacap. Ia kemudian ikut serta bersama rombongan Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang pindah ke Australia. Tak lama kemudian ia dipindahkan lagi ke Belanda lalu bergabung dengan militer Inggris yang tak lain adalah Sekutu Belanda di Perang Dunia Kedua.
Hanya saja Halim Perdanakusuma tidak begabung dengan Angkatan Laut Kerajaan Inggris, tetapi justru dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF). Bersama RAF, Halim Perdanakusuma pernah ditugaskan ke Gibraltar dan Kanada. Saat berada di Kanada itulah, ia mendapat latihan Navigasi dari Angkatan Udara Kanada, Royal Canadian Air Force (RCAF).
Dilansir dari buku Bakti TNI Angkatan Udara, Halim yang bertugas sebagai perwira Navigasi ditempatkan sebagai kru pesawat pembom Lancaster dan Liberator. Ia berulang kali ditugaskan dalam berbagai misi pengeboman di palagan PD 2 front Eropa. Hebatnya, pesawatnya selalu sukses dan kembali ke pangkalan dalam keadaan selamat. Oleh karena itu Angkatan Udara Kerajaan Inggris memberinya nama julukan 'The Black Mascot', yang berarti si Jimat Hitam.
Setelah Perang Dunia 2 selesai, Halim dikembalikan ke unit militer lamanya, Marine Luchtvaart Dienst (MLD) alias Dinas Penerbangan Angkatan Laut Belanda. Namun begitu kembali ke Indonesia, Halim justru memilih bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat jawatan Udara yang kini berubah menjadi TNI AU.
Saat ia bergabung di AURI, Halim ditunjuk sebagai Perwira Operasi dengan pangkat komodor muda oedara (KMO). Demi membalas serangan udara Belanda dalam Agresi Militer 1, Halim Perdanakusuma kemudian merancang operasi pengeboman balasan terhadap tangsi Militer Belanda yang berkedudukan di Semarang dan Salatiga pada tanggal 29 Juli 1947. Operasi tersebut terbilang sukses meski hanya menggunakan 3 pesawat bekas peninggalan Jepang dan persenjataan yang seadanya.
Sayangnya pengabdian Halim Perdanakusuma di Angkatan Udara Republik Indonesia tidak berlangsung lama. Perwira muda yang sudah melewati 42 misi pertempuran di PD 2 itu gugur pada tanggal 14 Desember 1947 dalam misi menerbangkan pesawat AVRO Anson dari Songkla menuju Bukittinggi. Kala itu pesawat yang dibawanya bersama Iswahjudi menghadapi cuaca buruk di kawasan Semenanjung Malaya sehingga mengalami kecelakaan. Jenazahnya sempat dikebumikan oleh penduduk setempat, namun beberapa tahun kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Nama Iswahjudi sendiri saat ini diabadikan sebagai nama Lanud di Madiun.